Selasa, 26 Juni 2012

MUDHARABAH

A. PENGERTIAN
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

B. MACAM-MACAM MUDHARABAH
  • Mudharabah Mutlaqah: Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
  • Mudharabah Muqayyadah: Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagai
C. FEATURE MUDHARABAH
1. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko
  • Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya
  • Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
2. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari

D. DASAR HUKUM MUDHARABAH
umhur ulama’ sepakat bahwa penanaman modal (mudharabah) ini diperbolehkan. Dasar hukumnya adalah:
1)    Al-qur’an
Artinya: “….dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT….”
2)    Al-hadits
Dari shalih bin shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “tiga hal di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”
3)    Ijma’
Imam Zailai telah nmenyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan sepirit hadits yang dikutip Abu Ubaid. Kontrak mudharabah telah dipraktekkan secara luas oleh orang-orang sebelum masa Islam, dan para Sahabat Nabi SAW. Menemukan jenis ini yang ternyata sangat bemanfaat dan sangat selaras dengan prinsip dasar syari’ah. Inilah salah satu bentuk bisnis bangsa Arab Jahiliyah yang ternyata terbebas dari kejahatan pada zaman Jahiliyah, oleh karena itu sampai sekarang masih tetap digunakan dan ada di dalam system Islam sekarang. Ketika Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang ia, melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian ditinjau darin segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

E. UNSUR-UNSUR MUDHARABAH
Seperti halnya bentuk-bentuk usaha yang lain, bisnis mudharabah ini juga mempunyai beberapa unsure yang harus ada guna untuk menjalin kerjasama yang baik dan sah. Mengenai unsure-unsur yang harus ada dalam bisnis mudharabah ini adalah:
1.    Pelaku (pemilik modal maupun pengelola modal)
Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shhib al-mal), sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil).
2.    Objek Mudharabah (modal dan kerja)
Merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya, sedangkan kerja yang diserahkan bias berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dll.
3.    Persetujuan kedua belah pihak (Ijab-Qabul)
Ijab-qabul merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum. Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
4.    Nisbah Keuntungan
Nisbah merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib endapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nishab keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

IHYAULMAWAT

A. PENGERTIAN
Ihyaul mawat adalah membuka tanah atau lahan baru yang belum ada pemiliknya.

B. HUKUM IHYAULMWAT
Hukum ihyaul mawat adalah jaiz (boleh).

C. SYARAT MEMBUKA LAHAN BARU
Cara membuka tanah menurut kebiasaan adat ditempat masing-masing, begitu pula menurut guna tanah yang dituju. Tanah yang akan dijadikan kebun berbeda dengan cara membuka dengan tanah yang akan dibuat sawah atau perumahan.
Bila seorang telah mulai bekerja menandai tanah yang dimaksudnya, maka ia lebih berhak kepada tanah itu dengan dua syarat yaitu :
• Tanah yang ia tandai itu hanya sekedar cukup untuk keperluannya, kalau lebih orang lainn boleh mengambil lebihnya
• Betul dia sanggup dan cukup alat untuk meneruskannya bukan semata-mata sekedar untuk menguasai tanah saja.

D.HIKMAH DARI IHYAULMAWAT
  • Mendorong manusia untuk berusaha dan bekrja mencari rizki dalam hidup ini disamping untuk tempat tinggal
  • Agar manusia hidupnya tidak berkumpul dsalam suatu tempat dan agar tidak berdesak-desakan karena kekurangan lahan untuk tempat tinggal
  • Agar manusia mensyukuri atas kekuasaan Alloh bahwa bumi ini dijadikan untuk manusia.

HUKUM INVESTASI DALAM ISLAM

Dalam hukum Islam,kegiatan berinvestasi dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang termasuk dalam kegiatan muamalah yaitu suatu kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia.

Sementara itu menurut kaidah Fikih, hukum asal kegiatan muamalah itu adalah mubah (boleh) yang berarti semua kegiatan dalam hubungan antar manusia adalah mubah (boleh) kecuali yang memang jelas ada larangannya (haram).
Ini berarti ketika suatu kegiatan muamalah yang baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam ajaran Islam maka kegiatan tersebut dianggap dapat diperbolehkan kecuali yang memang terdapat implikasi dari Al Qur’an dan Hadist yang melarangnya secara implisit maupun eksplisit.

Dalam beberapa literatur Islam klasik memang tidak ditemukan adanya terminologi investasi maupun pasar modal, akan tetapi sebagai suatu kegiatan ekonomi, kegiatan tersebut dapat diketegorikan sebagai kegiatan jual beli (al Bay).

Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),sampai dengan tahun 2004 ,telah diterbitkan sebanyak 6 (enam) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah :

1. No.05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual beli saham
2. No.20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksadana Syariah
3. No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
4. No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5. No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6. No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

Fatwa-fatwa tersebut di atas mengatur prinsip-prinsip syariah di bidang pasar modal yang meliputi bahwa suatu efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian syariah secara tertulis dari DSN-MUI.

Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh sertifikat/ predikat syariah dari DSN-MUI yaitu bahwa calon emiten terlebih dahulu harus mempresentasikan terutama struktur bagi hasilnya dengan nasabah/ investor,struktur transaksinya, bentuk perjanjiannya seperti perjanjian perwali amanatan dll.

WADIAH

A. PENGERTIAN
Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.
Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:
  1. Wadiah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
  2. Wadiah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga1. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. ada dua definisi dari wadiah oleh ulama fiqih : 
1.Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :

تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :

توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

menurut HASBI-ASHIDIQIE al-wadi’ah ialah :
“akad yang inrinya minta pertolongan pada seseorang dalam memelihara harta penitip.”
menurut SYAIKH SYIHAB al-DIN al-QALYUBI wa SYAIKH Umairah al-wadi’ah ialah :
“benda yang diletakan pda orang lain untuk dipeliharanya
menurut IBRAHIM al-BAJURI berpendapat bahwa yang dimaksud al-wadi’ah ialah
“akad yang dilakukan untuk penjagaan”
menurut ADDRIS AHMAD bahwa titipan adalah barang yang diserahkan (diamanahkan) kepada seseorang supaya barang itu dijaga baik-baik.
Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.

B. HUKUM WADIAH
Pengertian bahasa adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”.
Landasan Syariah, “Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu agar menyampaikan amanat kepada ahlinya.” (4 : 58). “Dan hendaklah orang yang diberikan amanat itu menyampaikan amanatnya” (2: 283).
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu” . H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
Ijma’ Para ulama daria zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadiah ini karena manusia memerlukannya dalam kehidupan muamalah.

C. RUKUN WADIAH
* Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan).
   * Wadii’ ( Orang yang dititipi barang).
   * Wadi’ah ( Barang yang dititipkan).
   * Shighot ( Ijab dan qobul).

Syarat Rukun Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.
Sifat akad wadiah Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.

D. JENIS-JENIS WADIAH
* Wadiah yad amanah Pada keadaan ini barang yang dititipkan merupakah bentuk amanah belaka dan 
tidak ada kewajiban bagi wadii’ untuk menanggung kerusakan kecuali karena kelalaiannya.
* Wadiah yad dhomanah. Wadiah dapat berubah menjadi yad dhomanah, yaitu wadii’ harus 
menanggung kerusakan atau kehilangan pada wadiah, oleh sebab-sebab berikut ini:
   * wadii’ menitipkan barang kepada orang lain yang tidak biasa dititipi barang.
   * wadii’ meninggalkan barang titipan sehingga rusak.
   * memanfaatkan barang titipan.
   * bepergian dengan membawa barang titipan.
   * jika wadii’ tidak mau menyerahkan barang ketika diminta muwaddi’, 
      maka ia harus menanggung jika barang itu rusak.
   * mencampur dengan barang lain yang tidak dapat dipisahkan.

Senin, 25 Juni 2012

UJRAH (UANG FEE)

A. PENGERTIAN
adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya. ujrah dapat didefinisikan sebagai harga yang dibayarkan pada pekerja atas pelayanannya dalam memproduksi kekayaan. Tenaga kerja seperti halnya faktor produksi lainnya, dibayar dengan suatu imbalan atas jasa-jasanya. Dengan kata lain, ujrah/upah adalah harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi. Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua; Pertama, upah yang telah disebutkan (ajrun musamma), Kedua, upah yang sepadan (ajrun mitsli). Upah yang telah disebutkan (ajrun musamma) itu syaratnya ketika disebutkan harus disertai kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi, sedangkan upah yang sepadan (ajrun mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya sesuai dengan kondisi pekerjaannya (profesi kerja) jika akad ijarahnya telah menyebutkan jasa (manfaat) kerjanya.
Yang menentukan upah tersebut (ajrun mitsli) adalah mereka yang mempunyai keahlian atau kemampuan (skill) untuk menentukan bukan standar yang ditetapkan Negara, juga bukan kebiasaan penduduk suatu Negara, melainkan oleh orang yang ahli dalam menangani upah kerja ataupun pekerja yang hendak diperkirakan upahnya orang yang ahli menentukan besarnya upah ini disebut dengan Khubara’u.
Upah (ujrah) adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia, baik berupa uang atau barang, yang memiliki nilai harta (maal) yaitu setiap sesuau yang dapat dimanfaatkan.
Upah adalah imbalan yang diterima seseorangan atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

B. SYARAT-SYARAT UJRAH 
  • Hendaknya upah berupa harta yang berguna atau berharga dan diketahui. Dalil bahwa upah harus diketahui adalah sabda Rasulullah SAW ;”Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka beritahulah upahnya”. Dan upah tidak mungkin diketahui kecuali kalau ditentukan.
  • Janganlah upah itu berupa manfaat yang merupakan jenis dari yang ditransaksikan. Seperti contoh yaitu menyewa tempat tinggal dengan tempat tinggal dan pekerjaan dengan pekerjaan, mengendarai dengan mengendarai, menanam dengan menanam. Dan menurut hanafiah, syarat ini sebagaian cabang dari riba, karena mereka menganggap bahwa kalau jenisnya sama, itu tidak boleh ditransaksikan.
C. PERSYARATAN MEMPERCEPAT DAN MENANGGUHKAN UJRAH
Ujrah tidak menjadi dengan hanya sekedar akad, menurut mazhab Hanafi. Mensyaratkan mempercepat upah dan menangguhkannya sah, seperti juga halnya mempercepat yang sebagian dan menangguhkan yang sebagian lagi, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, berdalil kepada sabda Rasulullah SAW :
”Orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka”.
Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan mempercepat atau menangguhkan, sekiranya upah itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya orang yang menyewa suatu rumah untuk selama satu bulan, kemudian masa satu bulan telah berlalu, maka ia wajib membayar sewaan. Jika akad ijarah untuk suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan.

D. HAK MENERIMA UJRAH

  1. Selesai bekerja
Berdalil pada hadits yang dirwayatkan oleh Ibnu Majah, Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda : ”Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering”.

  1. Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang.
Apabila terdapat kerusakan pada ’ain (barang) sebelum dimanfaatkan dan sedikitpun belum ada waktu yang berlalu, ijarah menjadi batal.

     3.  Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlangsung, ia mungkin mendatangkan manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi keseluruhannya.

     4. Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, yaitu mempercepat bayaran.

E. CONTOH PENERAPAN UPAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
1. Upah perbuatan taat
Adapun upah berbuat taat, dalam menentukan hukumnya, para Ulama ikhtilaf, dibawah ini kita sebutkan mazhab-mazhab.
Mazhab hanafi
Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa atau mengerjakan haji serta membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepadanya (yang menyewa) atau untuk azan, untuk menjadi imam manusia atau hal-hal yang serupa itu, tidak dibolehkan dan hukumnya haram mengambil upah tersebut, berdalil kepada sabda Nabi SAW, yang berbunyi :
”Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kau (cari) makan dengan jalan itu”.
Dan sabda Rasulullah kepada Amru bin Ash :
”Jika kau mengangkat seseorang menjadi mu’zin maka janganlah kau pungut dari azan sesuatu upah”.
Segolongan fuqaha membenarkan menerima upah dari pekerjaan mengajarkan Al-Qur’an, dengan alasan :
Pertama, menurut Imam as-Syaukani, hadits-hadits yang melarang menerima upah dengan mengajarkan Al-Qur’an itu semuanya lemah dan tidak luput dari cacat. Karena itu tidak dapat dijadikan hujjah.
Kedua, terdapat hadits shahih yang menyalahi Hadits dhaif tersebut, yaitu dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
”Sepatut-patut perkara yang kalian ambil upah buatnya itu ialah Kitabullah” (H.R Bukhari).
Ketiga, pertimbangan kepatutan (istihsan). Betapa perlunya ada guru-guru agama yang khusus mengajarkan Al-Qur’an/agama. Kehadiran guru agama yang diberi gaji itu perlu, sebab mereka akan mengalami kesulitan hidup, karena jam kerja mereka dicurahkan untuk mengajarkan agama.

2. Muadzin yang bergaji
Mengenai persewaan muazin, sebagian fuqaha tidak keberatan terhadaonya, sedang sebagian yang lain memakruhkannya.
Sehubungan dengan hadits dari Utsman bin Abul ’Ashi r.a. Ia berkata :
”Rasulullah SAW bersabda, Ambillah muazin yang tidak mengambil upah atas azannya” (H.R Tirmidzi dan Nasai)
”Akhir wasiat Rasulullah SAW kepadaku ialah : Janganlah aku mengangkat muadzin yang menghendaki upah adzannya”. (H.R Ahmad).
Hadits tersebut selain diriwayatkan oleh Ahmad, juga oleh Abu Dawud, an-Nasai, at-Turmudzi, al-Hakim dan Baihaqi, dengan derajat hasan.
Hadits tersebut menyatakan bahwa syara’ tidak menyukai muadzin yang meminta upah karena adzannya, dan syara’ tidak menyukai pengangkatan muadzin untuk menghendaki gaji.

3. Usaha Bekam
Sebagian fuqaha melarang mata pencaharian sebagai tukang bekam. Sebagian yang lain menganggap sebagai mata pencaharian yang rendah dan makruh bagi seorang lelaki. Sedang sebagian fuqaha lain membolehkan dimana usaha bekam tidak haram, karena Nabi SAW pernah berbekam dan beliau memberikan imbalan, kepada tukang bekam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas. Jika sekiranya haram, tentu beliau tidak akan memberikan upah kepadanya. Karena ia merupakan pembayaran harga manfaat, sedang harga mempunyai syarat harus diketahui jelas, berdalil kepada sabda Rasulullah SAW :
”Siapa yang mempekerjakan seseorang hendaklah ia memberitahukan kepadanya berapa bayarannya”.
Dan menentukan bayaran menurut kebiasaan yang berlaku, hukumnya sah.
Hadits dari Ibnu Abbas r.a :
Rasulullah SAW pernah berbekam dan memberikan kepada yang membekamnya itu dengan upah. Sekiranya haram, tentulah beliau tidak memberikannya”. (H.R Bukhari)
Tetapi segolongan fuqoha memandang bahwa mata pencaharian sebagai tukang bekam itu terlarang, berdasarkan hadits Nabi SAW :
”Pencaharian tukang bekam itu jelek” (H.R Muslim)

MURABAHAH

A. PENGERTIAN
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.

B. NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah.
Sedangkan di negara Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP)

C. PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG MURABAHAH
Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:
  • Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai dan saya akan memberika keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertamam diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal :    1.    Berjual beli sebelum penjual memilikinya, 2.    Berada dalam spekulasi (Mukhathorah)
  • Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-’Inah adalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas.
  • Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual.       
  • Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya.

D. KETENTUAN UMUM MURABAHAH DALAM BANK SYARIAH
  1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat islam.
  3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
  4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
  6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepaki.
  8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
  9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank. contoh murabahah pada bank syariah mandiri

MUZARA'AH DAN MUKHABARAH

A. PENGERTIAN
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.

B. DASAR HUKUM
  • عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
yang artinya ": Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian." (H.R. Bukhari)

  • عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
yang artinya ": Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)

C. PANDANGAN ULAMA MENGENAI HUKUM MUZARA'AH DAN MUKHABARAH
Dua hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak. 

D. ZAKAT MUZARA'AH DAN MUKHABARAH
adalah hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

E. SYARAT-SYARAT MUZARA'AH MENURUT JUMHUR ULAMA
1. harus baligh dan berakal
2. Jelas dan menghasilkan
3. menurut adat dan batas lahan itu jelas
4. pembagian hasil harus jelas dan memang benar – benar milik bersama

F. KAITANNYA DENGAN MUSAAQAH
Musaaqah merupakan transaksi antara pemilik kebun /tanaman dan pengolah/penggarap untuk memelihara dan merawat kebun pada masa tertentu sampai pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah. Rukun dan syarat musaaqah yaitu :
1. ada dua orang yang beraqad
2. ada lahan yang dijadikan objek
3. bentuk/jenis usa yang dilakukan
4. ada ketentuan bagian masing – masing
5. ada perjanjian